Menengok Situs Cagar Budaya Masjid Tengku Fakinah

Foto: bithe
Foto: bithe

Bagikan

Menengok Situs Cagar Budaya Masjid Tengku Fakinah

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

DI TENGAH pedesaan dengan hamparan persawahan terdapat sebuah bangunan semi permanen berukuran sekitar 15 x 15 meter dengan 16 tiang penyangga, menjadi saksi bisu dari jejak perjuangan dan peradaban Islam di Aceh. Bangunan ini bernama Masjid Tengku Fakinah.

Berdenah bujur sangkar dengan struktur atap tumpang dua yang berbentuk limas, masjid ini tegak kokoh di Gampong Blang Miro, Kecamatan Simpang Tiga, Kemukiman Lamkrak, Aceh Besar. Masjid Tengku Fakinah masih mempertahankan keaslian arsitektur masa lalu.

Namun, sayangnya, belum ada aktivitas yang berlangsung di dalamnya. Nama masjid ini diambil dari seorang ulama pemimpin pengajian di tempat tersebut, yakni Tengku Fakinah. Dahulunya, masjid ini dikenal sebagai Yayasan Pendidikan Agama Islam dengan nama Hadjah Fakinah Istiqamah, dan masyarakat setempat akrab menyebutnya sebagai masjid tuha. Pada tahun 2020, masjid ini ditetapkan sebagai situs cagar budaya.

Tengku Fakinah, sosok perempuan luar biasa dari Aceh, namun nama tgk Fakinah masih sunyi dalam sejarah. Selain menjadi panglima perang, beliau juga memiliki rekam jejak yang menginspirasi di dunia pendidikan.

Dalam kegiatan napak tilas yang diadakan oleh Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Ar-Raniry, penulis bersama 22 orang lainnya, terdiri dari dosen dari berbagai kampus di Aceh dan beberapa LSM, berkunjung ke lokasi tahun lalu.

Suasana pedesaan yang menyejukkan menyambut kedatangan kami ketika memasuki jalan menuju Gampong Blang Miro. Setiba di lokasi, di belakang masjid, terdapat sebuah kolam yang kering dan sumur, kami segera menimba air dari sumur untuk berwudhu melaksanakan shalat dhuha sejenak. Usai shalat dhuha, Ketua Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam, Sanusi, menceritakan sejarah hidup Tengku Fakinah.

Dia lahir pada tahun 1856 M di Desa Lam Diran Kampung Lam Beunot (Lam Krak), Tengku Fakinah merupakan putri dari pasangan Tengku Asahan dan Tengku Fatimah. Sejak kecil, Fakinah belajar agama dan baca-tulis Al-Qur’an dari kedua orang tuanya, serta dikenal sebagai sosok yang kreatif dengan berbagai hasil kerajinan.

“Ia juga memahami dunia perang karena mendapat pendidikan militer dan ilmu dari sang ayah, Datu Mahmud atau Teungku Asahan, mantan pejabat pemerintah di zaman Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah,”jelasnya.

Fakinah menikah dengan perwira muda bernama Teungku Ahmad, yang kemudian syahid dalam pertempuran di Pantai Cermin, yang kini dikenal sebagai Ulee Lheue. Setelah kehilangan suaminya, Fakinah membentuk sebuah pasukan bernama Sukey, yang mirip dengan sebuah resimen.

Dalam sejarah Fakinah memimpin empat batalyon dalam resimen Sukey, dan setiap batalyon beranggotakan antara 300 hingga 1.000 pejuang. Tidak hanya sebagai panglima perang, Tengku Fakinah juga merupakan penasehat spiritual bagi Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar, yang merupakan salah satu rekan seperjuangannya.

Tengku Fakinah meninggal di usianya yang ke-75 pada tahun1938, ia dimakamkan di Lamdiran di tempat kelahirannya. Usai berkunjung ke Masjid Tengku Fakinah, tim juga berkesempatan melakukan ziarah ke makam Tengku Fakinah yang terletak tidak jauh dari masjid.

Di area pemakaman tersebut, telah dibangun pagar dan dipasang plang yang memuat profil lengkap Tengku Fakinah. Jejak kepahlawanan Fakinah tidak lekang oleh waktu, dan namanya pun diabadikan dalam berbagai hal, seperti Rumah Sakit Teungku Fakinah di Geucheu Iniem, Banda Aceh, dan Akademi Keperawatan Yayasan Tengku Fakinah.

Kehadiran Tengku Fakinah sebagai sosok perempuan yang tangguh dan berjuang dengan gigih menjadi inspirasi bagi generasi penerus, serta menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah perjuangan dan peradaban Islam di Aceh. Semangat rela berkorban dan kepahlawanan beliau patut menjadi teladan untuk meneruskan perjuangan para pahlawan yang telah mengukir sejarah. (ASG)

Bithe

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Bagikan