Pacuan Kuda, Tradisi Masyarakat Gayo yang Tetap Terpelihara

Foto: dispar.acehtengahkab.go.id
Foto: dispar.acehtengahkab.go.id

Bagikan

Pacuan Kuda, Tradisi Masyarakat Gayo yang Tetap Terpelihara

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Kabupaten Aceh Tengah memiliki pesta rakyat gayo tahunan yang menampilkan pacuan kuda tradisional gayo. Tanpa perlu promosi dan tanpa perlu komando, secara serentak masyarakat yang mendiami dataran tinggi tanoh gayo pada waktu tersebut turun membanjiri kota Takengon.

Menyaksikan pesta rakyat gayo dengan even pacuan kuda tradisional gayo berlangsung selama sepekan. Uniknya kuda-kuda yang dipacu masa itu adalah kuda yang juga berfungsi sebagai pembajak sawah.

Pacuan kuda tradisional ini menjadi event wisata yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat tiga daerah serumpun “Tanoh Gayo” yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Ini bukan hanya sekedar event tapi bermula dari pesta rakyat.

Pacuan kuda ini konon sudah dilakukan sebelum Belanda menjajah Indonesia. Pacuan kuda ini sudah dilakukan sebagai hiburan rakyat jauh sebelum Belanda datang. Dan digelar setelah musim panen yang biasa bertepatan dengan Bulan Agustus karena cuaca saat itu cerah.

Dari sejarahnya, acara ini bermula dari sekelompok anak muda yang iseng menangkap kuda menggunakan sarung di sekitar Danau Lut Tawar. Kala itu banyak kuda digembalakan, mereka lalu memacunya.

Kelompok pemuda dari satu desa sering bertemu dengan pemuda desa lainnya yang akhirnya berlomba memacu kuda tanpa sepengetahuan pemiliknya.

Lama-lama kebiasaan memacu kuda itu menjadi tradisi tahunan yang digelar di kampung masing-masing. Tahun 1850 pacuan kuda tradisional Gayo sudah dikenal dan tenar di tengah-tengah masyarakat tepatnya di sekitaran Danau Lut Tawar.

Antusiasme warga dalam lomba pacuan kuda ini ternyata menarik perhatian Pemerintah Belanda saat itu yang kemudian menggelar pacuan kuda di lapangan Belang Kolak, Takengon pada Tahun 1912. Acara ini berbarengan dengan hari ulang Tahun Ratu Belanda Wilhelmina.

“Sejak Zaman Kolonial Belanda Pacuan Kuda ini sudah ada, dulu sering digelar untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Belanda yaitu Ratu Wilhelmina dan Budaya pacuan kuda ini tetap berlanjut hingga hari ini,” kata mantan wakil Bupati Aceh Tengah, Firdaus beberapa waktu lalu.

Uniknya saat itu, persyaratan joki yang tidak dibenarkan menggunakan baju alias telanjang dada. Tidak ada hadiah bagi pemenang, hanya gengsi atau marwah dan status sosial yang yang dipertaruhkan dan dipertahankan. Lalu bergotong royong dan menyembeli ternak untuk di makan bersama.

Tradisi memberikan hadiah saat itu datang dari Ratu Belanda Wilhelmina. Agar pacuan kuda lebih semarak, Ratu Belanda memberikan hadiah kepada siapa saja yang berhasil menjadi jawara saat itu. Hadiahnya pun beragam, mulai dari biaya makan kuda hingga piagam bagi pemenang. Lambat laun, tradisi membagikan hadiah berlanjut sampai hari ini.

Hingga peraturan pacuan kudapun dirubah, yang awalnya bertelanjang dada, pada zaman Ratu Belanda para Joki harus menggunakan baju dan arena dibatasi dengan rotan, agar kuda tidak keluar arena. Hingga saat ini lapangan Belang Kolak masih ada dan menjadi salah satu arena pacuan kuda tertua di kawasan Gayo Alas.

Pada zaman modern saat ini, Pacuan Kuda Tradisional Gayo ini masih terjaga. Joki tanpa pelana hingga aturan wasit yang tidak boleh di ganggu gugat. Kemudian, kuda yang digunakan ialah kuda asli Tanah Gayo.

Pemerintah setempat juga lebih mempertimbangkan untuk menjaga kelestarian kuda lokal, tanpa harus mengimpor kuda untuk bertarung di arena pacuan.

“Kuda-kuda lokal ini sebenarnya kita lestrikan. Jangan sampai nanti kita fokus kuda luar sehingga kuda lokal akan punah, itu yang kita tidak mau,” kata Firdaus.

Selain itu, kini pacuan kuda tradisional Gayo kebanyakan menggunakan joki cilik tanpa pelana sebagai penunggangnya. Mereka sebelum bertanding juga sudah mahir dalam memacu kuda. Apalagi mereka juga didukung oleh orang tua dan pemerintah setempat.

Setia pada pacuan kuda, masyarakat Gayo tumpah ruah menonton pegelaran ini. tidak ada pembatasan, ada anak-anak, pria maupun wanita. Sehingga pacuan kuda menjadi hiburan rakyat. Yang pasti, pada akhirnya pacu kuda menjadi tradisi dan bagian hidup dari warga setempat. (ASG)

Joni

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Bagikan