MATAHARI sudah sedari tadi rebah ke barat kala penulis menyambangi kompleks makam “Sultan Salahaddin” di bilangan Jalan Teungku Di Bitai, Gampong Bitai, Banda Aceh, penghujung September 2023.
Kompleks yang bertabur nisan dengan gambar bulan sabit merah, khas bendera Turki. Luas taman pemakaman ini dua kali lapangan badminton, berbentuk huruf L, yang di kiri dan kanan berbatasan dengan pemukiman penduduk dan areal tambak warga.
Begitu memasuki kompleks makam, terdapat 11 makam di sayap kanan gerbang menyambut para peziarah. Sementara di sisi kiri hanya tanah kosong yang terawat rapi dengan rerumputan hijau di atasnya.
Satu tugu khusus juga menjadi penanda kompleks yang semula diyakini bersemayam jasad para askar dari Turki Ottoman tersebut. Di tugu marmer itu terlihat ada ukiran tulisan “Makam Teungku Di Bitay (Selahaddin)” dalam tiga bahasa: Turki, Inggris, dan Indonesia.
Kompleks pemakaman ini berada tepat di sisi kanan sebuah masjid baru berkubah empat dengan warna hijau jamrud di atasnya.
Sebuah cungkup beton yang di dalamnya terdapat tujuh pasang nisan marmer berlogo bulan sabit lantas menyambut siapa saja yang datang ke sana. Cungkup beton ini diduga pada awalnya adalah tempat khalut para penimba ilmu agama di Dayah Baitul Aman. Namun cungkup beton itu diduga beralih fungsi pasca rehabilitasi dan rekonstruksi tsunami di Aceh.
“Awalnya bangunan cungkup beton itu kosong, mungkin dulunya dipergunakan untuk kepentingan keilmuan oleh para alim ulama di dayah tersebut untuk melakukan kalut ,” kata Ketua Mapesa, Mizuar Mahdi, beberapa waktu lalu.
Tujuh batu nisan yang ada di dalam cungkup beton itu diduga justru baru dipasang setelah pemugaran oleh Bulan Sabit Merah Turki.
Deretan makam berbatu nisan seragam juga terlihat di sekeliling cungkup itu baik di kiri, kanan, maupun di belakangnya. Hanya sekitar delapan makam yang berada di sisi barat kuncup dan berada di gundukan, yang memiliki batu nisan berukir—berbeda dengan makam-makam kebanyakan yang ada di sana.
Secara keseluruhan batu nisannya berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa arab. Pada bagian bawah nisan terdapat pola luas tumpal, puncak nisan cembung di atasnya terdapat lingkaran sisi delapan.
Namun aksara-aksara berukir yang ada di nisan itu telah aus dimakan usia. Hanya satu nisan yang masih menyimpan ukiran kaligrafi bertuliskan kalimat tauhid “La ilahaillallah” dan “Muhammad Rasulullah” dalam aksara Arab.
“Sebelum tsunami menerjang Aceh, semua makam di sini memiliki nisan berukir dan juga batu bulat. Kini nisan-nisan itu telah hilang disapu gelombang, dan hanya yang di gundukan itu yang tersisa,” ungkap ‘Azimah, salah seorang warga setempat yang mengaku sebagai guide Kompleks Makam Teungku Di Bitay.
Salah satu dari makam dengan nisan berukir di atas gundukan itulah yang belakangan diduga bersemayam jasad Syeikh Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi yang kemudian dikenal dengan nama Tengku Syekh Tuan Di Bitai. Dia merupakan seorang pimpinan armada utusan Khalifah Turki Utsmany yang berasal dari Baital Maqdis, Palestina.
Lantas siapa Salahuddin yang namanya ditabalkan di monumen kompleks makam tersebut?
Jika merujuk pada catatan sejarah, Sultan Salahuddin merupakan putra sulung almarhum Sultan Mughayat Syah yang bernama Salahuddin ibn Ali Malik az Zahir. Berdasarkan catatan Denys Lombard dalam bukunya berjudul Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menyebutkan dia memerintah dari tahun 1528/1530 hingga 1537/1539. Masih menurut Lombard, Sultan Salahuddin ini wafat pada 25 November 1548 M.
Sultan Salahuddin ini kemudian berteman dengan Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi yang diutus oleh Sultan Selim dari Turki. Pada saat Sultan Salahuddin mangkat, Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi yang menjadi sahabatnya memberikan wasiat agar dimakamkan saling berdekatan, yaitu di Komplek Situs Makam Tuanku Di Bitai, Banda Aceh.
Saat Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Alauddin Ibn Ali Malik az Zahir atau lebih dikenal dengan Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahar yang memerintah tahun 1537-1568 juga pernah mengikat hubungan dengan Turki.
Saat itu Sultan Turki mengirimkan bantuan berupa dua kapal perang dan 500 orang tenaga berkebangsaan Turki untuk mengelola kapal-kapal tersebut. Diantara 500 orang tersebut terdapat ahli-ahli militer yang dapat membuat kapal-kapal perang, baik ukuran besar maupun ukuran kecil. Mereka juga mampu membuat meriam-meriam berukuran besar.
Turki juga memberikan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan-perlengkapan militer lainnya kepada Aceh. Semuanya itu tiba di pelabuhan Aceh dengan selamat pada tahun 1566 atau 1567 M.
Mengenai bantuan dua buah kapal dan 500 orang awak kapal serta teknisi tersebut, C. R Boxer dalam A Note On Portugese Reactions of The Revival of The Red Sea Spice Trade and The Rise of Acheh, 1540-1600, menerangkan dalam papernya pada acara konferensi Internasional Sejarah Asia di Kuala Lumpur yang diselenggarakan oleh Departement of History, University of Malaya, 5-10 Agustus 1968, bahwa para utusan Aceh yang berhasil sampai ke Turki itu telah mampu meyakinkan pihak kerajaan Islam terbesar tersebut mengenai keuntungan perdagangan rempah-rempah dan lada di Nusantara.
Keuntungan ini, menurutnya, akan tercapai apabila orang-orang Portugis yang berada di Malaka berhasil diusir oleh pasukan Kerajaan Aceh dengan bantuan Turki. Sebanyak 500 tentara dari Turki ini kemudian mendarat di Bitai dan mendirikan perkampungan militer di dekat kawasan tersebut.
Selain mengajarkan ilmu perang, cara membuat pedang dan memakai senjata, orang-orang Turki ini juga mengajarkan agama Islam kepada orang Aceh.
“Kalau berdasarkan cerita orangtua saya, kawasan ini dulunya merupakan pelabuhan tempat kapal-kapal dari luar masuk ke Aceh. Jalur masuk kapal-kapal itu dari Kuala Cangkoi yang kemudian menjadi dangkal. Sekarang kalau dikatakan Bitai ini berada di tepi laut, banyak orang tidak percaya,” ujar ‘Azimah.
Sementara catatan sejarah lain menyebut, Komplek makam Sultan Salahaddin merupakan kompleks makam kuno peninggalan Turki. Dia terletak berdampingan dengan kompleks makam Teungku Di Bitai.
Luas areal kompleks makam ini mencapai 500 m2 dan berada di tengah-tengah perkampungan penduduk. Di sekitar makam juga terdapat masjid kuno yang bangunan aslinya becorak Turki. Status tanah di kompleks itu adalah wakaf.
Dari catatan sejarah yang terpampang dalam bingkai kaca, dalam sebuah bangunan kecil di belakang kuncup beton dalam kompleks makam itu juga menjelaskan, Bitai merupakan nama perkampungan yang dulunya ditempati para ulama Islam. Mereka berasal dari Pasai, Pidie, dan juga ulama dari Baitul Muhadis dan Turki.
Semua para ulama tersebut bertujuan untuk mengajarkan agama Islam di perguruan tinggi. Bitai yang semula daratan kosong pun bersalin rupa menjadi pusat perkembangan Islam di masa itu. Banyak orang dari luar Aceh yang belajar memperdalam agama di sana.
Masih menurut catatan tersebut, Turki membantu Aceh memberikan perlengkapan perang. Hubungan itu dijalin pada masa pemerintahan Sri Sultan Salahuddin yang mangkat pada tahun 1548 Masehi. Dia merupakan Sultan Aceh yang memerintah selama 28 tahun tiga bulan.
Kala Salahuddin memerintah, agenda utama kerajaan adalah meningkatkan pendidikan dan hubungan kerjasamaa dengan negara-negara lain, termasuk Turki, jazirah Melayu, Pakistan dan juga negara-negara di Arab.
Dalam keterangan yang dapat dibaca oleh semua peziarah itu juga menyebutkan, jumlah secara keseluruhan di kompleks tersebut lebih kurang 20-an makam. Sebanyak tujuh di antara nisan pada makam-makam itu berbatu cadas dan 18 lainnya terbuat dari batu sungai.
Secara keseluruhan batu-batu nisan itu berbentuk segi delapan dan hiasannya bertuliskan kaligrafi dengan bahasa Arab. Segi delapan mewujudkan delapan sahabat dari Aceh, Turki dan tanah Arab.
Selain makam Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi, di kompleks pemakaman ini juga diduga turut disemayamkan jasad salah satu sosok ulama sufi dari Dayah (zawiyah) Baital Aman, Wali (Waliyullah) Syaikh Dalilu-Llah dari Baitul Maqdis.
Berdasarkan catatan pakar sejarah Islam Asia Tenggara, Teungku Taqiyuddin Muhammad, Syaikh Dalilu-Llah merupakan seorang tokoh ulama sufi yang dihormati dan dimuliakan dalam Kerajaan Aceh Darussalam baik semasa hidupnya maupun setelah ia berpulang ke Rahmatu-Llah. Dugaan awal itu berasal dari bacaan kaligrafi ukiran kayu yang dipasang pada dinding Rumoh Aceh (Rumah Cut Nyak Dien) dalam kompleks Museum Negeri Aceh.
Dugaan tersebut memiliki simpul dengan keberadaan masjid Dayah Baitul Amman yang berada dekat dengan kompleks makam tersebut. Namun, bangunan masjid itu telah bersalin rupa dari kayu menjadi beton pascatsunami menghumbalang Aceh.
Sebelum tsunami, sisa bangunan masjid kuno itu masih dapat dilihat. Struktur bangunan bertipe atap tumpang dua dari bahan seng. Masjid itu berdenah segi empat ke arah timur barat, menggunakan bahan batu kali dan kayu. Bagian tengah masjid terdapat sako guru yang menjulang ke atas puncak masjid.
Dilihat dari segi konstruksi, seperti catatan yang juga dibingkai dan dipajang dalam bangunan di kawasan kompleks makam, pemasangan balok dan pasak masih menampakkan cara pemasangan tradisional Kekhalifahan Turki.
Di dalam masjid ini, dulunya, juga terdapat sebuah mimbar batu yang denahnya berukuran 9,10×9 meter. Tebal dinding berukuran 0,62 meter. Sementara bagian dinding selatan masjid menjorok ke luar difungsikan sebagai tempat meletakkan beduk, bagian ini mempunyai ukuran panjang 320 cm, lebar 190 cm dan tinggi 160 cm.
Di Kompleks Makam Teungku Di Bitay ini juga terdapat beberapa makam baru, penduduk setempat. Menurut keterangan ‘Azimah, jasad ayahnya yang merupakan khadam makam tersebut juga disemayamkan di kompleks pemakaman tersebut pada tahun 2010. Begitu pula dengan makam Teungku Ali Lamlagang yang meninggal pada era 1980-an. Dia merupakan kakek Cut Putri, pimpinan dari Yayasan Darud Donya.
Kompleks makam dan masjid Bitai itu dulunya sering dikunjungi para peziarah berbeda dengan dua tahun terakhir ini. Menurut penuturan ‘Azimah, terkadang rombongan peziarah yang datang mencapai dua bus ke kompleks makam tersebut. Para peziarah itu banyak dari Indonesia, tetapi tak jarang pula yang berasal dari mancanegara seperti Malaysia dan bahkan Turki.
“Artis Marcella Zalianty juga pernah datang kemari ketika hendak membuat film Laksamana Malahayati,” kata ‘Azimah.
Tidak ada aturan khusus yang membatasi para peziarah untuk datang ke kompleks makam ini. Namun, ‘Azimah menekankan agar para peziarah wanita yang ingin masuk ke kompleks makam hendaknya menggunakan pakaian sopan dan menutup kepala.
“Karena ini kan makamnya para ulama,” pungkas ‘Azimah. (ASG)
Ariful