Menyusuri Peunayong, Kampung Keberagaman di Banda Aceh

Bagikan

Menyusuri Peunayong, Kampung Keberagaman di Banda Aceh

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

DI TENGAH kesibukan Jalan T. Panglima Polem, Banda Aceh, terdapat sebuah bangunan bercat putih dengan garis merah di tepinya, dikelilingi lampion-lampion yang menggantung indah. Bangunan ini adalah Vihara Dharma Bhakti, sebuah tempat ibadah bagi warga etnis Tionghoa yang hidup harmonis di Banda Aceh.

Keberadaan vihara ini menjadi simbol dari keragaman yang kaya di kawasan Peunayong, yang terletak di tepi sungai Krueng Aceh.

Peunayong: Miniatur Kerukunan Antar Umat Beragama

Peunayong, yang sering dianggap sebagai kampung Tionghoa di Banda Aceh, mencerminkan harmoni antara berbagai kelompok etnis dan agama. Meskipun Aceh dikenal dengan penerapan syariat Islam, di Peunayong, warga minoritas, seperti penganut agama Buddha, Kristen, dan Hindu, dapat beribadah dengan bebas. Ini adalah bukti nyata toleransi yang sudah berakar kuat di masyarakat Aceh.

Selain Vihara Dharma Bhakti, Peunayong juga menjadi rumah bagi Vihara Buddha Sakyamuni, Vihara Maitri, dan Vihara Dewi Samudra. Di samping itu, terdapat juga Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) dan Gereja Methodist. Tidak jauh dari sana, berdiri megah sebuah masjid, menegaskan kerukunan yang telah lama terjalin di wilayah ini.

Menurut Kho Khie Siong, Ketua Umum Perkumpulan Hakka Banda Aceh, hubungan antar umat beragama di Banda Aceh sangat harmonis. “Tidak ada gesekan sama sekali di kalangan masyarakat umum terkait ibadah keagamaan,” ujarnya.

Pasar Peunayong: Simbol Keragaman Budaya

Pasar Peunayong, terutama di Gang Pasar Sayur, menjadi salah satu tempat di mana interaksi lintas etnis terjadi setiap hari. Para pedagang dari berbagai latar belakang etnis, termasuk etnis Tionghoa, Aceh, dan lainnya, berbaur bersama. Mereka hidup dan bekerja dalam suasana yang harmonis, menciptakan lingkungan yang nyaman bagi semua.

Peunayong memiliki sejarah panjang sebagai pusat interaksi budaya, dimulai dari kedatangan para pedagang China pada abad ke-17. Nama Peunayong sendiri berasal dari kata “Peu Payong” yang berarti melindungi, merujuk pada sejarah daerah ini sebagai tempat Sultan Iskandar Muda menjamu tamu dari berbagai negara.

Warisan Tionghoa di Banda Aceh

Warga Tionghoa di Banda Aceh kebanyakan merupakan keturunan generasi ke-4 atau ke-5 dari para imigran awal yang datang pada abad ke-19. Komunitas ini sebagian besar berasal dari suku Khek dari Provinsi Kwantung, Tiongkok. Hingga kini, Peunayong tetap menjadi pusat komunitas Tionghoa, dan meskipun kecil, mereka tetap menjaga tradisi dan kebudayaan mereka sambil berbaur dengan budaya lokal.

Saat bulan Ramadan, warga Tionghoa ikut meramaikan suasana dengan menjajakan penganan berbuka puasa. Sebaliknya, pada hari-hari besar agama Tionghoa, warga Aceh turut merayakan dengan penuh rasa hormat. Keharmonisan ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Banda Aceh.

Kampung Keberagaman di Banda Aceh

Selain Peunayong, terdapat juga beberapa kampung lain di Banda Aceh yang terkenal dengan keragamannya, seperti Kampung Mulia dan Kampung Laksana. Di Kampung Mulia, berbagai rumah ibadah, seperti masjid dan gereja, berdiri berdekatan, mencerminkan keharmonisan kehidupan antarumat beragama. Di sana, terdapat GPIB, Gereja Methodist Indonesia (GMI), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), serta beberapa vihara.

Meski Aceh menerapkan syariat Islam, kenyamanan dan kebebasan beribadah bagi warga non-muslim tetap terjamin. Pemerintah setempat memastikan bahwa semua rumah ibadah, baik itu gereja, vihara, maupun kuil, memiliki izin resmi dan dijaga keberadaannya. Bahkan, Kuil Palani Andawer yang merupakan rumah ibadah Hindu terletak tidak jauh dari Masjid Jamik Keudah.

Peunayong: Simbol Toleransi di Aceh

Peunayong juga mendapat perhatian nasional sebagai kampung keberagaman. Pada perayaan Tahun Baru Imlek 2566, Yayasan Hakka mendeklarasikan Peunayong sebagai kampung keberagaman. Sejak itu, berbagai acara kolaborasi budaya, seperti barongsai yang tampil bersama Seudati dan Rapai Geleng, menjadi bagian dari upaya mempererat kerukunan.

Kerukunan antarumat beragama di Aceh menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia. Banyak yang terkejut saat mengunjungi Aceh, seperti yang dialami oleh sekelompok pengunjung dari Lampung. “Mereka kaget karena Aceh ternyata sangat ramah, jauh dari gambaran yang dibayangkan,” kata Kho Khie Siong. (ASG)

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Bagikan