Peusijuek, Warisan Kearifan yang Terus Hidup di Aceh

DI TENGAH dinamika kehidupan masyarakat Aceh, ada sebuah tradisi yang tetap mengalir dari generasi ke generasi, menjadi lambang keteduhan, kerukunan, dan doa untuk kebaikan. Tradisi itu dikenal sebagai peusijuek.

Walau zaman bergerak cepat, peusijuek masih hadir dalam berbagai peristiwa penting dan momen sukacita di wilayah yang dijuluki Serambi Mekkah.

Istilah peusijuek sendiri berasal dari kata “sijuek”, yang berarti sejuk. Upacara ini merupakan bentuk permohonan doa agar seseorang atau sebuah peristiwa diberkahi, dilindungi, dan diberi ketenangan. Biasanya prosesi ini menyertai momen-momen bahagia seperti pernikahan, keberangkatan haji, memasuki rumah baru, hingga menyambut tamu terhormat. Pada masa lalu, peusijuek juga dilakukan ketika melepas para pejuang yang akan berangkat ke medan perang.

Dalam upacara ini, orang yang dipeusijuek akan duduk dengan tenang, sementara air dan beras dipercikkan pada kepala, bahu, hingga bagian dada. Setiap percikan membawa harapan: keselamatan, kelapangan rezeki, serta kehidupan yang dipenuhi rahmat Tuhan.

Peusijuek sudah menjadi bagian budaya Aceh sejak masa lampau. Selain sebagai bentuk doa, tradisi ini juga mempererat hubungan kekeluargaan. Ketika prosesi digelar, kerabat dan masyarakat sekitar biasanya ikut hadir, sebagai wujud kebersamaan, baik dalam suka maupun duka.

Tradisi ini tidak hanya berlangsung pada acara seremonial. Dalam beberapa kondisi, peusijuek juga dilakukan setelah dua pihak yang sebelumnya berselisih akhirnya berdamai, sebagai simbol penyatuan kembali hubungan yang retak.

Pelaksanaan peusijuek tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Prosesi ini dipimpin oleh sosok yang memahami ajaran agama, sebab rangkaiannya dipenuhi doa-doa keselamatan sesuai ajaran Islam yang menjadi pedoman masyarakat Aceh.

Ada sejumlah bahan yang digunakan dalam peusijuek, seperti beras, rumput hijau atau on sinijuek, dan air. Semua bahan itu hanyalah simbol, bukan bagian dari suatu kepercayaan tertentu.

Setiap bahan memiliki makna. Beras, misalnya, melambangkan sumber kehidupan, mengingat masyarakat Aceh pada masa lalu mengandalkan padi sebagai makanan pokok. Percikan air dan rumput hijau bermakna pendingin, membawa ketenangan bagi orang yang dipeusijuek.

Nasi ketan juga sering dihadirkan sebagai simbol perekat hubungan antarwarga. Setelah prosesi selesai, nasi ketan ini dibagikan dan dinikmati bersama oleh tamu yang hadir.

Walau tata cara peusijuek memiliki pakem tertentu, praktiknya bisa sedikit berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya.

Sekilas, peusijuek memiliki kemiripan dengan tradisi tepung tawar dalam budaya Melayu. Di Aceh, yang memimpin prosesi ini adalah tokoh agama atau adat. Untuk laki-laki, biasanya dipimpin oleh Teungku atau ustaz, sedangkan bagi perempuan dipimpin oleh Ummi atau sosok perempuan yang dituakan dalam komunitas. (ASG)

Kategori :

Budaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *