21 TAHUN telah berlalu sejak pagi kelabu 26 Desember 2004 mengubah wajah Aceh untuk selamanya. Gelombang raksasa yang datang tanpa ampun tidak hanya merenggut ratusan ribu nyawa, tetapi juga meninggalkan luka kolektif yang membekas hingga kini.
Di balik duka itu, Aceh perlahan bangkit, merawat ingatan, dan menjadikannya sebagai pelajaran kehidupan. Salah satunya melalui wisata ziarah—perjalanan batin yang mengajak pengunjung mengenang, mendoakan, dan merenungi makna bencana.
Di Banda Aceh dan Aceh Besar, wisata ziarah tsunami bukan sekadar kunjungan destinasi, melainkan perjalanan spiritual. Langkah pertama kerap dimulai di Kuburan Massal Ulee Lheue, tempat puluhan ribu korban tsunami dimakamkan tanpa nama.
Di sini, suasana hening menyelimuti area pemakaman. Nisan-nisan sederhana berjajar rapi, menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya bencana yang pernah melanda. Setiap 26 Desember, peziarah dari berbagai daerah datang, melantunkan doa, dan menundukkan kepala—mengirimkan Al-Fatihah untuk mereka yang tak sempat berpamitan.
Tak jauh dari sana, berdiri Masjid Raya Baiturrahman, simbol keteguhan iman dan harapan. Masjid bersejarah ini tetap kokoh ketika air bah menerjang kota. Bagi banyak orang, masjid ini menjadi titik refleksi, tempat bersujud dan bersyukur. Wisatawan ziarah kerap menjadikan Baiturrahman sebagai tempat merenung, menyadari betapa rapuhnya manusia dan betapa besarnya kuasa Tuhan.
Perjalanan ziarah berlanjut ke PLTD Apung 1 di Punge Blang Cut. Kapal pembangkit listrik seberat ribuan ton ini terseret gelombang hingga beberapa kilometer ke daratan.
Kini, PLTD Apung berdiri sebagai monumen tsunami yang mengingatkan pada kekuatan alam yang tak bisa dilawan. Dari atas kapal, pengunjung dapat memandang kota Banda Aceh sambil membayangkan kedahsyatan air laut yang pernah menelan permukiman di sekitarnya.
Tak kalah menyentuh adalah Kapal di Atas Rumah di Lampulo. Sebuah kapal nelayan tersangkut di atap rumah warga, menjadi saksi keajaiban di tengah bencana—puluhan orang selamat karena berlindung di dalamnya. Kisah ini terus diceritakan dari mulut ke mulut, menjadi bagian penting dari wisata ziarah yang sarat nilai kemanusiaan dan harapan.
Bagi peziarah yang ingin memahami tsunami secara lebih utuh, Museum Tsunami Aceh menjadi ruang perenungan berikutnya. Di dalamnya, nama-nama korban terukir di dinding, suara azan menggema, dan lorong-lorong gelap membawa pengunjung menyelami suasana mencekam saat bencana terjadi. Museum ini bukan hanya tempat belajar sejarah, tetapi juga ruang empati—mengajarkan arti kehilangan dan pentingnya kesiapsiagaan.
Wisata ziarah tsunami Aceh mengajarkan bahwa perjalanan bukan selalu tentang keindahan visual, tetapi juga tentang keheningan, doa, dan refleksi. Dua puluh satu tahun pascatsunami, Aceh mengajak siapa pun yang datang untuk tidak sekadar melihat, melainkan merasakan dan merenungi. Bahwa dari duka yang mendalam, tumbuh kekuatan untuk bangkit, saling menguatkan, dan menjaga ingatan agar tragedi serupa tak terulang.
Di Aceh, ziarah tsunami adalah perjalanan hati—menapak jejak duka, merawat ingatan, dan meneguhkan harapan. (ASG)
