KHANDURI Blang bukan sekadar ritual doa di persawahan, melainkan sebuah perayaan kebersamaan yang menyatukan warga dalam suasana penuh syukur. Di Aceh, tradisi ini menjadi momen ketika masyarakat mengajak alam, sawah, dan sesama manusia untuk kembali terhubung dalam harmoni.
Di pinggir sawah yang hijau dan di bawah rindang pepohonan, warga berkumpul membawa hidangan dari dapur masing-masing. Makanan yang tersaji bukan hanya pengisi perut, tetapi simbol keberkahan, kerja sama, dan nilai gotong royong yang diwariskan turun-temurun.
Menu utama dalam Khanduri Blang biasanya adalah kari kuah beulangong, gulai khas Aceh yang dimasak dalam belanga besar menggunakan daging sapi atau kambing. Proses memasaknya bukan pekerjaan satu orang, tetapi dilakukan bersama-sama oleh para lelaki desa. Sementara itu, kaum perempuan menyiapkan bumbu di dapur rumah atau balai gampong.
Ketika serai, kunyit, ketumbar, dan asam sunti mulai menguarkan aroma, suasana desa dipenuhi rasa hangat yang membawa ingatan pada tradisi nenek moyang. Gulai beulangong bukan sekadar hidangan, tetapi simbol kekuatan yang lahir dari kerja kolektif.
Selain gulai, terdapat pula pulut kuning yang tak pernah absen dari Khanduri Blang. Pulut kuning menjadi simbol kemakmuran dan rasa syukur. Pulut biasanya disantap dengan kuah kari atau kelapa parut manis, tergantung kebiasaan tiap desa. Tak ketinggalan, aneka kue tradisional turut meramaikan hidangan, seperti timphan, boh rom-rom, adee, meuseukat, hingga kue bhoi. Masing-masing kue membawa filosofi tersendiri. Pulut melambangkan eratnya persatuan, sementara kari mencerminkan kekuatan dan keberanian yang muncul ketika masyarakat bekerja bersama.
Yang membuat Khanduri Blang begitu bermakna adalah tidak adanya perbedaan status dalam acara makan bersama ini. Tidak ada meja khusus untuk pejabat desa, tidak ada tempat duduk istimewa bagi orang kaya atau tamu terhormat. Semua duduk sama rendah di atas tikar atau hamparan daun pisang. Hidangan disajikan dalam porsi besar untuk disantap secara ramai-ramai. Cara makan ini mengajarkan bahwa di hadapan rezeki dan karunia Allah, semua manusia sama; tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah.
Di sela-sela santap bersama, para petani biasanya melakukan percakapan santai tentang kondisi sawah, cuaca, hingga cara mengatasi hama. Meski sederhana, diskusi ini sering lebih efektif dibandingkan rapat formal yang kaku. Sebab, suasana kebersamaan membuat setiap orang nyaman berbagi pendapat. Dari sinilah lahir kesepakatan dan komitmen sosial untuk saling membantu selama musim tanam. Makanan menjadi penghubung, dan obrolan sederhana menjadi fondasi kuat bagi solidaritas desa.
Keunikan lain dari Khanduri Blang adalah sistem sumbangan bahan makanan. Tidak ada anggaran resmi yang harus disiapkan. Satu rumah membawa daging, rumah lain menyiapkan beras, sementara yang lain menyumbang kelapa, rempah, atau kue. Semua dilakukan dengan kesadaran bersama bahwa rezeki harus dibagi. Pola ini mencerminkan ekonomi gotong royong yang telah mengakar di masyarakat Aceh sejak lama.
Namun, perubahan gaya hidup membuat sebagian desa mulai meninggalkan tradisi membawa makanan dari rumah. Banyak yang memilih membeli makanan jadi karena alasan praktis: lebih cepat, lebih mudah, dan tidak memakan waktu. Meski tampak sepele, perubahan ini mengancam inti dari Khanduri Blang. Sebab, yang terpenting bukanlah mewah atau sederhananya hidangan, tetapi proses kebersamaan dalam menyiapkannya. Ketika perempuan tak lagi berkumpul menumbuk bumbu sambil bertukar cerita, ketika belanga besar tak lagi mengasap di halaman, maka hilanglah salah satu ruh khanduri.
Khanduri Blang mengajarkan bahwa makan bukan hanya mengenyangkan perut, tetapi mempererat persaudaraan. Setiap suapan membawa makna syukur, kerja sama, serta cinta pada tanah yang memberikan kehidupan. Selama masyarakat Aceh masih merayakan khanduri dengan hati, tradisi ini akan terus hidup sebagai warisan yang mengikat desa dalam kebersamaan dan rasa syukur tanpa batas. Tradisi ini bukan hanya upacara adat, tetapi perekat sosial yang menjaga keharmonisan kehidupan pedesaan di Aceh. (posaceh)
