Rumoh Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien. Bila anda pencinta sejarah, pasti sudah tak asing dengan nama pahlawan nasional satu ini. Pejuang perempuan Aceh yang tak pernah menyerah pada Belanda sampai akhir hayatnya. Diasingkan ke pulau Jawa dan menghembuskan nafas terakhir di Sumedang, Jawa Barat.  

Meski pusara Cut Nyak Dhien berada di sana, namun peninggalan dan rekam jejak perjuangan perempuan kelahiran Lampadang, Aceh, pada 1848 ini dapat anda jumpai di Aceh. Yaitu sebuah replika Rumah Cut Nyak Dhien, yang pernah ditempati Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar, suaminya.  

Rumoh Cut Nyak Dhien atau Rumah Cut Nyak Dhien sebagai objek wisata sejarah dibagun kembali oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1981-1982. Diresmikan sebagai cagar budaya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad Hasan pada 1987.

Rumoh Cut Nyak Dhien layaknya musium data sejarah Aceh khusus tentang perjuangan Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Semua dokumen foto dan data tentang dua pejuang Aceh ini dibawa kembali dari Belanda ke Aceh sebagai upaya pendukumentasian sejarah.  

“Rumah aslinya didirikan tahun 1883 oleh Belanda sebagai hadiah kepada Teuku Umar, yang saat itu bergabung dengan Belanda sebagai siasat perang,” kata Asiah. Dia juru pelihara Rumoh Cut Nyak Dhien. Dia turut serta mendampingi para wisatawan yang datang berkunjung ke sana.  

Rumoh Cut Nyak Dhien berada di Desa Lampisang, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Walau tidak berada di Ibu Kota Provinsi Aceh, namun Rumoh Cut Nyak Dhien dekat dari pusat Kota Banda Aceh. Hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat untuk menuju ke sana. Terbuka untuk umum dari pukul 08.00 hingga 17.00 WIB.  

Rumah Cut Nyak Dhien berupa rumah panggung khas Aceh beratap rumbia. Terdiri dari 65 tiang dengan panjang rumah 25 meter dan lebarnya 10 meter. Rumah ini terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu serambi kanan, dan serambi kiri. Untuk serambi kanan ada tiga ruangan besar. Ruang paling depan, tengah, dan belakang. Lalu ada dapur yang menghubungan serambi kanan dengan serambi kiri rumah.

Bagian paling depan pada serambi kanan, banyak terpajang dokumentasi masa perjuangan Aceh melawan Belanda. Semua diatur berdasarkan urutan paling awal, yaitu ketika kapal Belanda masuk ke pesisir Aceh sampai dokumen akhir ketika Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap Belanda dan telah rabun penglihatannya.

“Semua foto ini bukan yang asli. Aslinya ada di Belanda,” kata Asiah kepada beberapa wisatawan yang datang berkunjung selama lebaran.

Rumoh Cut Nyak Dhien mulai buka pada hari ke dua lebaran setelah ramadhan. Katanya liburan lebaran tak seramai liburan sekolah. Bila libur sekolah pengunjung bisa mencapai 800 dalam sebulan bahkan lebih.

Untuk masuk ke sana tak ada biaya khusus yang dipatok. Sama seperti lokasi wisata dibeberapa tempat di Aceh. Bila tetap ingin berkontribusi, pengunjung dapat memberikan sumbangan seikhlasnya pada kotak sumbangan.   

“Ini lukisan Cut Mutia dan Pocut Meurah. Kedua perempuan ini temannya Cut Nyak Dhien. Teman seangkatan perjuangan dengan Cut Nyak Dhien,” jelas Anisah. Potret tersebut masuk dalam dokumentasi di ruang depan itu.

Katanya, dari tiga pejuang perempuan Aceh itu, hanya Cut Mutia yang makamnya berada di Aceh, di Aceh Utara. Sedangkan Pocut Meurah Hasan sempat diasingkan oleh Belanda ke Blora, Jawa Tengah, dan meninggal di sana.  

Setelah menjelaskan semua potret yang ada di bagian depan, Anisah membawa pengunjung ke bagian tengah. Tak ada foto di sana. Hanya ada dua bilik kamar yang dibelah oleh lorong kecil yang muat untuk empat orang. Katanya kedua kamar itu adalah kamar dayang.

“Ini merupakan strategi perang Cut Nyak Dhien. Dia tidak tidur di kamar depan melainnya di kamar kecil, di serambi kiri rumah,” terang Anisah.

Di bagian belakang, yang luasnya hampir sama dengan bagian depan, banyak terpajang foto-foto orang Belanda dan beberapa foto penghianat Aceh yang menjual informasi pada Belanda. Sedangkan bagian belakang ada dapur dan beberapa kursi sebagai pajangan.

“Mari lihat sumur belakang. Hanya ini peninggalan yang asli dari Rumah Cut Nyak Dhien. Tak ikut terbakar karena berbahan semen,” ajak Anisah kepada pengunjung.

 

Ia melanjutkan, sumur yang berusia hampir satu abad setengah itu, tak pernah kering sepanjang tahun. Airnya yang jernih dan sejuk masih sering digunakan petugas untuk mengepel lantai kayu yang berdebu. Dia juga menawarkan kepada pengunjung bila ingin mencuci muka dengan air sumur itu.

“Ini ada timba. Ayo basuh muka dengan air sumur. Ambil berkahnya. Biar punya pengalaman juga bagaimana orang Aceh jaman dulu mengambil air dari sumur. Tak ada mesin air,” jelasnya. Tinggi sumur itu 10 meter. Sengaja dibangun tinggi, agar sumur tak bisa diracun oleh Belanda.

Sebagai penutup Anisah membawa pengunjung ke serambi kiri dari dapur. Sama seperti serambi kanan. Ada tiga ruang di dalamnya. Salah satunya adalah kamar Cut Nyak Dhien.

“Inilah kamar Cut Nyak Dhien. Setelah ini, jangan lupa isi buku tamu ya,” imbau Anisah ramah kepada pengunjung.

Ketika gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, replika Rumoh Cut Nyak Dhien tak terkena air laut. Hanya bagian lantai dasar sempat basah. Namun tak ada kerusakan apapun.

Foto-foto : Desi Badrina

Kategori :

Sejarah & Heritage, Situs Sejarah & Tsunami

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *