Masjid Tuha Ulee Kareng, Sejarah Peradaban Islam di Banda Aceh

DI ULEE KARENG, kawasan yang kini terkenal dengan semerbak khas kopi robusta di Banda Aceh, berdiri tegak sebuah bangunan yang usianya melampaui hiruk pikuk modern, Masjid Tuha Ulee Kareng. Terletak di Desa Ie Masen, hanya sekitar 200 meter dari Simpang Tujuh Ulee Kareng yang ramai, masjid ini merupakan situs cagar budaya yang mengukuhkan kejayaan dan perkembangan Islam di Serambi Mekkah sejak abad ke-18.

Masjid ini bukan sekadar bangunan ibadah, ia adalah kapsul waktu. Di tengah Ulee Kareng yang bertransformasi menjadi pusat kuliner, Masjid Tuha tetap menjadi jangkar spiritual dan historis, menjadi saksi bisu peradaban Islam yang mengakar kuat.

Secara visual, Masjid Tuha Ulee Kareng tampak bersahaja, namun setiap detail arsitekturnya menyimpan nilai sejarah yang tinggi. Bangunannya didominasi oleh arsitektur tradisional Nusantara, ditandai dengan atap limas bertingkat dua. Desain atap ini tidak hanya indah tetapi juga fungsional, dengan ventilasi di antara tingkatan untuk memastikan sirkulasi udara yang lancar tanpa perlu banyak jendela.

Meskipun bagian-bagiannya telah mengalami renovasi seperti penggantian atap rumbia menjadi seng dan penguatan dinding semi-permanen dengan beton nuansa tradisionalnya tetap dipertahankan. Dindingnya dihiasi jeruji kayu kecil sebagai saluran sirkulasi udara, sementara interiornya ditopang oleh 12 tiang kayu kokoh.

Tiang-tiang ini dihiasi ukiran kaligrafi Arab yang memperindah bangunan tua tersebut, sekaligus menjadi saksi bisu pusat dakwah Islam di Aceh. Sentuhan kayu pada ornamen-ornamen bangunan berhasil menjaga keaslian arsitekturnya.

Menurut Tgk. Saifuddin, salah satu pengurus masjid, sejarah pendiriannya bermula pada abad ke-18 oleh Teuku Meurah Lamgapang. Pembangunannya kemudian dilanjutkan dan masjid ini menjadi pusat dakwah yang penting setelah kedatangan ulama besar, Habib Abdurrahman bin Habib Husein Al-Mahdali (Habib Kuala Bak U), pada tahun 1826. Bersama saudaranya, Habib Abu Bakar Bilfaqih (Teungku Dianjong), Habib Kuala Bak U menjadikan masjid ini sebagai motor penggerak ibadah dan penyebaran Islam di Aceh.

Di area belakang masjid terdapat kompleks pemakaman yang juga menjadi tujuan ziarah. Di sinilah dimakamkan ulama dan tokoh penting, termasuk Habib Kuala Bak U, Teuku Meurah Lamgapang dan anak-anaknya, serta Ulee Balang lainnya. Makam ini kini menjadi destinasi wisata religi bagi masyarakat.

Cut Nauval (28), seorang pengunjung yang baru saja menyelesaikan salat Zuhur, memiliki ikatan emosional kuat dengan masjid ini. “Dulu waktu masih sekolah di MIN Ulee Kareng, kalau mata pelajaran fikih belajar tata cara shalat, pasti di sini. Masih teringat lantainya yang hanya plesteran, sekarang sudah pakai keramik,” kenangnya.

Meskipun menyadari bahwa renovasi, seperti penggantian plesteran dengan keramik, telah terjadi, Rahmi berharap vitalitas masjid dapat ditingkatkan lagi. Ia berpendapat bahwa selain pengajian, aktivitas seperti musabaqah (lomba keagamaan) dapat diselenggarakan untuk menghidupkan suasana. Lebih lanjut, Rahmi menyoroti pentingnya promosi dan perawatan. “Masjid ini adalah tempat yang sangat penting bagi masyarakat, jadi kebersihannya perlu diperhatikan.

Mukena harus selalu bersih, dan rak-rak yang ada di dalam masjid harus sering dibersihkan,” tambahnya. Rahmi menyadari bahwa Masjid Tuha Ulee Kareng masih kurang dikenal oleh masyarakat luas, terutama generasi muda, karena tidak seterkenal masjid-masjid besar lainnya. “Perlu disosialisasikan dan dipromosikan keberadaan masjid tua ini,” tegasnya.

Sebagai cagar budaya yang dilindungi, keaslian sejarah Masjid Tuha Ulee Kareng dijaga ketat, bahkan warga setempat menentang renovasi besar-besaran demi mempertahankan nilai budaya dan sejarahnya. Masjid ini berdiri sebagai simbol betapa kuatnya jejak budaya Islam yang telah mengakar di bumi Serambi Mekkah, menawarkan wisata religi dan pelajaran sejarah bagi setiap peziarah. (Bithe)

Kategori :

Travel Info

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *