IMPIAN Ansura terwujudkan sore itu. Ia tampil menghibur warga dari wilayah Pantai Barat Selatan Aceh.
Di atas panggung utama Festival Pesona Barat Selatan, Ansura bersama anggota Sanggar Putra Raja lainnya, menghentakkan badan dan tangan sambil memukul gendang rapai.
Dengan baju tariannya yang berwarna merah, badan Ansura meliuk-liuk. Ia memainkan rapai dengan lincah, dibarengi gerakan badan yang gesit, plus wajah yang terus menebarkan senyum energik. Mengikuti lantunan syair dari Syahi.
Mereka diberi waktu seperempat jam, bersaing dengan 17 kontestan rapai geleng lain dari seantero wilayah Barat Selatan Aceh, dalam Lomba Rapai Geleng Festival Pesona Barat Selatan.
“Sangat senang bisa tampil di lomba ini, karena di sini kami bisa mengasah mental kami,” ujar Ansura kepada AcehTourism.Travel.
Di balik semangat mereka yang berapi-api menari di atas pentas, ada beban yang dipikul, yaitu harus mampu mengharumkan nama daerah asalnya.
Ansura datang dari Desa Silolo, Kecamatan Pasie Raja, Aceh Selatan. Namun bagi pemuda 21 tahun ini, motivasinya mengikuti lomba tersebut bukan soal siapa yang menang atau kalah. Jumlah peraih trofi ada batasannya. Tapi, pelestarian seni rapai geleng tiada batasnya.
“Kami sangat bangga dengan adanya kegiatan ini, terutama anak-anak seni ini. Ini membuat kami semakin cinta terhadap seni khususnya rapai geleng,” ungkapnya.
Selain melestarikan seni, tampil di Lomba Rapai Geleng Festival Pesona Barat Selatan, membuat Ansura dan teman-teman sanggarnya dapat menjaga kekompakan. Juga bisa saling menghormati sesama pelaku seni rapai geleng lain.
Ansura tahu bawah rapai geleng berasal dari Manggeng, Aceh Barat Daya (dulu masuk Aceh Selatan). Ia tertarik menggeluti rapai sejak kecil dari melihat para seniornya di desa.
Ia pun mengikuti latihan rapai geleng sejak SMP agar dapat menjadi salah satu generasi yang melestarikan kesenian warisan endatu.
Ansura kemudian bergabung dengan Sanggar Putra Raja yang berbasis di Desa Silolo, Kecamatan Pasie Raja, Aceh Selatan.
Lomba Rapai Geleng Festival Pesona Barat Selatan jadi kompetisi besar pertama yang diikuti Ansura. Sebelumnya alumni SMAN 1 Pasie Raja itu pernah ikut perlombaan rapai geleng tingkat sekolah sewaktu duduk di bangku SMP.
Lumrah bagi anak-anak Aceh Selatan diajari kesenian tradisional di kampung-kampung. Hal ini juga diakui Dedi Miswar atau dikenal Syeh Mi, Ketua Sanggar Putra Raja, yang juga seniman dan budayawan Aceh Selatan.
Sebab itu, kata dia, Sanggar Putra Raja adalah wadah untuk menciptakan generasi penerus rapai geleng di Pasie Raja umumnya Aceh Selatan.
Syeh Mi sangat mengapresiasi penyelenggaraan Festival Pesona Barat Selatan yang berlangsung pada 28 – 31 Agustus 2022 di Aceh Selatan. Acara ini memberikan kesempatan kepada insan seni terutama untuk menggaungkan kesenian tradisional rapai geleng.
“Kami sangat mendukung setiap kegiatan-kegiatan kebudayaan seperti ini,” kata budayawan Aceh Selatan itu, usai memimpin timnya.
Dua jempol Syeh Mi diacungkan buat Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh yang menghadirkan delapan kabupaten/kota dari wilayah Barat Selatan Aceh (Barsela) dalam satu event.
“Realita ini kalau kami dalam pepatah Aceh menyebutnya reudôk di cot uroë, artinya itu seperti dalam mimpi!,” ujarnya.
Syeh Mi berapi-api. Dia mengaku selama ini hajatan besar di Barsela cuma digelar se-kabupaten. Kecuali itu, mereka hanya bisa partisipasi dalam event besar ketika berlangsungnya Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) yang digelar 5 tahun sekali di ibukota provinsi.
“Ini ada acara yang menggabungkan delapan kabupaten/kota di barat selatan Aceh, istilahnya domestik-nya Barat Selatan, ini luar biasa,” imbuhnya.
Sebagai masyarakat sekaligus seniman dari Negeri Pala, Syeh Mi sangat mendukung kelangsungan Festival Pesona Barat Selatan di tahun-tahun selanjutnya.
Jika ini menjadi kalender event tahunan, kata Syeh Mi, seluruh seni dan budaya dari wilayah Barsela akan lebih cepat dan mudah dikenal oleh masyarakat luar.
Dampaknya, event itu akan mendongkrak industri pariwisata dan tentunya berdampak baik pada perekonomian daerah, seperti disampaikan Bupati Aceh Selatan Tgk Amran dalam sambutannya saat membuka festival ini pada 29 Agustus 2022 di Lapangan Naga, Tapaktuan.
Dia melihat. Festival ini dapat membangkitkan gelora kecintaan anak muda terhadap kebudayaan Aceh di tengah gempuran globalisasi seperti sekarang. Lebih-lebih generasi milenial sangat mudah terpengaruh melalui ponsel yang bisa saja membuat mereka lupa akan kebudayaannya sendiri.
“Tapi dengan hadirnya festival ini dapat membangkitkan kembali gairah kecintaan terhadap seni tradisi budaya Aceh ini,” katanya.
Sanggar Putra Raja sudah berusia sekitar 12 tahun. Anak-anak yang tampil pada lomba tanggal 30 Agustus itu menurut Syeh Mi sudah latihan tiga tahun. Rata-rata berusia SMA dan kuliah.
“Sekarang kita juga melatih anak-anak usia SMP, cuma belum siap tampil,” tambahnya.
Seluruh rangkaian kegiatan Festival Pesona Barat Selatan berlangsung di Lapangan Naga, Tapaktuan, Aceh Selatan. Menampilkan beragam rangkaian kegiatan, mulai dari Jalan Santai, Pameran Produk UMKM Unggulan, Pentas Seni dan Budaya dari 8 kab/kota di Barsela, Lomba Rapai Geleng, hingga penampilan artis nasional dan lokal.
Selama empat hari pelaksanaannya, event bertajuk “Semarak Seni Kemilau Budaya” itu dipadati ribuan pengunjung setiap harinya meskipun hujan mengguyur.
Festival Pesona Barat Selatan 2022 dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Almuniza Kamal pada 29 Agustus. Kemudian pada 31 Agustus ditutup secara resmi oleh Wakil Ketua DPRA Safaruddin yang juga putra daerah Barsela.
Sebelum penutupan resmi, panitia mengumumkan pemenang aneka lomba, termasuk Lomba Rapai Geleng. Apakah anak didik Syeh Mi keluar sebagai pemenang?
Amatan AcehTourism.Travel di pentas utama, MC tidak menyebutkan nama Sanggar Putra Raja dalam list pemenang utama maupun harapan.
Juara 1 diraih Sanggar Fajar Barona dari Labuhan Haji, Aceh Selatan. Juara 2 milik Sanggar Putra Remaja dari Aceh Barat, dan Juara 3 Sanggar Cahaya Gemilang dari Nagan Raya.
Berikutnya Juara Harapan 1, 2, dan 3, masing-masing diraih Sanggar Putra Mahkota dari Aceh Barat Daya, Sanggar Cahayoe Fajar dari Kota Fajar, Aceh Selatan, dan Sanggar Putra Naga dari Sawang, Aceh Selatan.
Seperti kata Ansura di atas, bukan soal siapa juaranya. Tapi kesempatan tampil di Festival Pesona Barat Selatan 2022 telah mengangkat martabat dan semangat tim Sanggar Putra Raja dari Kecamatan Pasie Raja, Aceh Selatan. Hal yang sama mungkin dirasakan oleh semua kontestan lain.
“Event seperti ini bagus sekali dan jangan sampai berhenti disini,” celutuk Medya Hus kepada AcehTourism.Travel.
Maksud budayawan Aceh itu, festival ini ke depannya dapat digelar setiap tahun dengan tuan rumah bergiliran di 8 kabupaten/kota di Barsela.
Medya Hus menyebut Festival Pesona Barat Selatan sebagai ajang promosi dan aktualisasi diri bagi generasi muda Barsela baik bagi seniman maupun peminat seni dan budaya.
Tidak hanya ranah seni dan budaya, dia menambahkan, tapi festival ini juga dapat memperkenalkan produk-produk ekonomi kreatif dari Barsela melalui Stand Bazar Expo.
Bergema di Barcelona
Mengenai Lomba Rapai Geleng, menurut Medya Hus, itu sangat bagus untuk ajang edukasi sekaligus promosi. Ada pembelajaran soal asal-muasal rapai.
“Kita jangan memvonis juga rapai geleng asal Manggeng, tetapi dari Barat Selatan Aceh. Karena Nagan Raya juga punya rapai. Panjang ceritanya,” tutur praktisi seni Seumapa itu.
Yang penting diketahui, katanya, rapai geleng adalah rapai kreasi baru, tapi sudah mentradisi sejak tahun 80-an.
Anak muda sekarang apalagi milenial perlu tahu bagaimana hebatnya orang dulu bisa berkreasi untuk menduniakan rapai.
“Mereka harus paham juga bahwa syair-syair rapai itu mengandung pedoman hidup dan sejarah, sehingga rapai bukan saja sebagai tontonan, tapi juga tuntunan,” terangnya.
Medya Hus mengatakan, menurut sejarah orang awal, dulu orang Barsela terpaku pada Rapai Dabus, terus ada Rapai Uroih, ada Rapai Geurimpheng, dan macam lainnya.
Ketika diminta tampil pada event-event ke luar negeri, kesenian tradisional seperti Rapai Dabus akan sulit diterima karena ada adegan ekstrem—seperti melukai tubuh dengan senjata tajam.
“Jadi lahirlah ide dari seniman awal, mengemas rapai dengan gerak-gerak daripada saman mungkin, jadi waktu itu dipopulerkanlah rapai geleng di masa Gubernur Aceh Ibrahim Hasan,” sebutnya.
Menurut Medya Hus, saat itu Gubernur Ibrahim Hasan membawa tim seniman Aceh untuk menampilkan rapai geleng ke Barcelona, Spanyol, juga dibawa serta troubadour Aceh Adnan PMTOH. Itu sekitar tahun 1992.
“Waktu itu dibawa dua syeh rapai, Syeh Sabirin dari Nagan Raya dan Syeh Yong Bujang Juara dari Manggeng yang jadi juri lomba rapai hari ini,” ujar budayawan asal Aceh Jaya itu.
Karena itu, lanjutnya, bila di Aceh Selatan (sekarang Manggeng sudah masuk wilayah Aceh Barat Daya) lahir rapai geleng, di Meulaboh tempat lahirnya rapai saman.
“Keduanya hampir sama, tapi kita tidak mempertentangkan hal ini. Yang penting pemerintah daerah, kita semua, mari sama-sama membantu promosikan seni tradisi yang sudah diciptakan oleh pendahulu, kita lestarikan kembali hingga jadi warisan dunia. Ini yang penting,” katanya.
Medya Hus berpesan agar generasi sekarang melek digital. Seni itu harus disampaikan di platform digital seperti ia menebarkan konten seni Seumapa di channel Youtube dan Instagram pribadinya.
Soal ini ada pepatah Aceh mengatakan, katanya: “Raseuki ngon tagagah, tuah ngon tamita.”
Anak muda sekarang harus kreatif. Aneh rasanya, kata Medya Hus, bila generasi seni sekarang tidak bisa promosikan sebuah event atau kesenian, dengan segala kelebihan teknologi yang tersedia.
“Kalau dulu kita harus bayar untuk promosi. Sekarang enggak, cukup pakai internet, satu HP, bisa kita upload, ditonton seluruh dunia,” sarannya.
Namun ada yang lebih penting dalam pandangan Medy Hus. Yakni di dunia pendidikan, mulai dari SD hingga perguruan tinggi, bagaimana caranya seni tradisi ini menjadi pelajaran ekstrakurikuler.
“Saya tadi menonton. Di panggung utama para penari sedang main rapai, di sni (tenda penonton_red) anak-anak ikut menirukan gerakan mereka.”
Anak-anak Aceh Selatan memang sering menonton rapai geleng di acara-acara adat sehingga mereka dapat dengan mudah mengikuti setiap gerakan rapai geleng. Hal yang sama Medy Hus lihat di Gayo: kalau anak-anak menyaksikan pertunjukan saman mereka juga akan ikut menari dengan sendirinya.
“Ini sebuah fenomena yang perlu kita tiru dan kita angkat kembali,” pungkasnya.