“Tarek pukat…rakan e.. lamsepot dilaot…karoh ungkit jenara… engkot jeunara…”
Begitulah sepenggal syair tari Tarek pukat yang menggambarkan aktivitas masyarakat pesisir yang sebagiannya adalah nelayan.
Tari itu sebagai pembuka kemeriahan Kenduri Laot yang di adakan pemerintah Sabang pada Sabtu 30 Maret 2019 yang di hadiri seribuan masyarakat Sabang dan para undangan juga wisatawan yang sedang berlibur di Sabang propinsi Aceh.
rapai (alat musik tradisional Aceh) dan serunekale menjadi musik pengiring nya dan pemukulan rapai oleh Walikota, perwakilan kementrian pariwisata dan panglima laot serta pemangku adat di Sabang pertanda acara dimulai. Setelah itu, beragam atraksi budaya diperkenal-kan ke para traveler dan wisatawan. Di antaranya tari Tarek pukat dan Tarian Tron U Laot yang ditampilkan sekelompok remaja Sabang.
Tarian tersebut menceritakan kehidupan para nelayan yang diawali dengan persiapan para ibu-ibu untuk suaminya yang berangkat melaut. Pengunjung antusias menyaksikan para penari menari mengikuti irama.
Sajian budaya dan kesenian Aceh terlihat sangat kental dalam pembukaan tersebut. penampilan sejumlah tarian kreasi, peusijuk boat dan nelayan, hingga atraksi tarek pukat dengan melibatkan sejumlah boat tradisional, menjadi warna warni perayaan Khanduri laot yang bertema “Khanduri laot mengangkat tradisi masyarakat pesisir”.
Dalam pembukaan festival tersebut dilakukan prosesi tepung tawar bot dan nelayan yang akan melakukan Tarek pukat dan memancing di teluk Sabang.
Tradisi ini biasanya digelar untuk kapal baru yang akan melaut. Anak buah kapal dipeusijuk dan kemudian mereka berdoa bersama. Usai pemangku adat naik ke darat, kapal mulai berlayar. Ketika berada di laut, para nelayan menebar pukat dari atas kapal. Selama mencari ikan, para nelayan tidak boleh saling sikut.
Aktivitas para nelayan berangkat melaut hingga kembali ini dapat disaksikan para wisatawan yang berkunjung ke Sabang saat itu dari jarak dekat dan juga menjadi media edukasi bagi mereka yang belum pernah melihat bagaimana cara mendapat ikan di laut .
Meulaot (Melaut) menjadi aktivitas masyarakat pesisir dalam mengais reski, namun sebagai rasa syukur kepada sang pencipta para nelayan mengadakan Kenduri setiap tahunnya dengan memberi makan anak yatim dan fakir miskin.
Khanduri laut dapat dijadikan sarana untuk mensosialisasikan aturan hukum yang telah digariskan nenek moyang kita bersama,” kata Wali Kota Sabang Nazaruddin dalam sambutannya.
Namun dalam 2 tahunnya terakhir ini Khanduri laot menjadi salah satu atraksi budaya yang menarik wisatawan ke Aceh.
Festival Khanduri laot yang di gelar di Sabang 30 Maret 2019 lalu merupakan yang kedua kalinya di gelar secara meriah dan masuk dalam agenda tahunan promosi pariwisata Aceh.
Pembukaan kegiatan Festival Khanduri Laot Sabang 2019 dipusatkan di Dermaga CT-3 BPKS di Kuta Timu, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang, Aceh, Sabtu.Traveler yang melancong pun disuguhkan beragam atraksi budaya. Seru!
Pada awal acara, tamu undangan disuguhkan dengan penampilan zikir yang diperagakan puluhan pria lintas usia. Event tahunan ini dibuka secara resmi oleh staf khusus Bidang Percepatan Calender of Event Kementerian Pariwisata Tazbir Abdullah dari Sabang untuk Indonesia
Dalam sambutannya Tasbir mengatakan, Kementerian pariwisata memilih mengkurasi event-event yang ada di daerah untuk dijadikan event nasional dan dipromosikan ke internasional, salah satunya adalah Khanduri laot yang layak di angkat, selain itu Sabang adalah pulau yang paling bersih dan aman. “Segala jenis kendaraan tidak perlu dikunci artinya bebas dari pencurian,” sebutnya sambil tersenyum.
Di tempat yang sama Wali Kota Sabang Nazaruddin dalam sambutannya mengatakan, masyarakat Aceh memiliki kekayaan budaya dan adat yang terus dipertahankan secara turun menurun, namun seiring dengan perkembangan zaman semangat untuk melestarikan budaya daerah kian memudar. Dan ini merupakan akibat arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi yang telah mempengaruhi aspek kehidupan termasuk kebudayaan suatu daerah.
“Atas dasar inilah Pemerintah Kota Sabang untuk kedua kali menyelenggaran festival ini dalam upaya melestarikan adat budaya warisan, sehingga menjadi sarana untuk memperkuat hubungan sosial antara sesama,” tuturnya.
Khanduri Laot sebagai sarana mensosialisasikan kembali aturan atau hukum laut yang telah digariskan oleh nenek moyang. “Semoga acara ini dapat terus kita laksanakan setiap tahun secara berkesinambungan,” harapnya
event kedua ini digelar untuk memperkenalkan budaya melaut kepada wisatawan yang dapat ke Sabang. Selain itu, event tersebut juga untuk menarik kunjungan wisatawan di belahan dunia.
Saat pembukaan berlangsung tak hanya warga lokal saja yang hadir, sejumlah wisatawan mancanegara ikut meramaikan CT3 guna menyaksikan prosesi khanduri laot.
Tak sedikit di antara traveler yang mengabadikan tarian tersebut dengan telepon genggam. Setelah itu, traveler diperkenalkan dengan acara peusijuek kapal (tepung tawari).
Tradisi Peusijuk atau tepung tawar biasanya digelar untuk kapal baru yang akan melaut. Anak buah kapal dipeusijuk dan kemudian mereka berdoa bersama. Usai pemangku adat naik ke darat, kapal mulai berlayar.
Ketika berada di laut, para nelayan menebar pukat dari atas kapal. Selama mencari ikan, para nelayan tidak boleh saling sikut. Aktivitas para nelayan berangkat melaut hingga kembali ini dapat disaksikan traveler dari dekat.
Kenduri Laot berkembang secara turun temurun pada masyarakat pesisir Aceh. Menurut sebagian masyarakat, asal muasal peringatan kenduri laot itu dilatarbelakangi dengan peristiwa karamnya kapal yang digunakan oleh seorang anak panglima yang pergi melaut pada jaman dahulu, namun anak panglima ini selamat. Seekor ikan lumba-lumba telah mendamparkannya ke pinggir pantai. Sebagai rasa syukur atas keselamatan anak panglima itu maka diadakanlah Kenduri Laot selama tujuh hari-tujuh malam. Peringatan itu kemudian berlangsung sampai sekarang.
Kenduri Laot merupakan upacara menjelang musim timur atau ketika musim barat akan berakhir. Dahulu kenduri laot rutin dilaksanakan pada setiap desa pantai yang merupakan wilayah Panglima Laot, baik di lhok (teluk) maupun di kabupaten. Kenduri laot bagi masyarakat nelayan Aceh merupakan sebuah perwujudan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan dengan Sang penciptanya dan juga lingkungan sekitarnya dalam menghadapi lingkungan setempat.
Kenduri laut ini dilangsungkan dengan menggalang iuran dari para nelayan sesuai kemampuan dalam istilah Aceh, meuripe (patungan). Mereka yang tergolong kaya, harus menyumbang lebih banyak. Besarnya sumbangan itu ditentukan melalui musyawarah yang melibatkan warga. Musyawarah itu juga menentukan jadwal pelaksanaan kenduri.
yang biasanya di persiapkan dalam acara Kenduri Laot adalah menu sajian untuk para tamu, bahan bahan untuk Peusijuk atau tepung tawar dan bot untuk mengharungi kepala, tulang dan perut kerbau yang telah di sembelih ketengah laut sebagai makanan ikan.
Setelah semuanya tersedia, baru mulai di laksanakan upacara. Dalam pelaksanaannya upacara kenduri laot memiliki perbedaan-perbedaan pada daerah yang melaksanakannya baik mengenai waktu ataupun ritual didalamnya, namun pada intinya sama.
Tahap ini dimulai pada pagi hari atau setelah sembahyang Shubuh selesai dilakukan. Peserta pertama yang hadir adalah peserta tadarrus membaca ayat-ayat suci Al-Quran.
Setelah itu panglima laot memulai memandaikan kerbau yang akan disembelih, selesai dimandikan kerbau tersebut dipeusijuk(ditepung tawari) oleh panglima laot yang diikuti oleh teungku/imum dan tokoh masyarakat.
Ketika panglima laot mempeusijuk (menepung tawari) kerbau, panglima laot dan peserta-peserta yang hadir secara bersama-sama membaca takbir dan shalawat Nabi. Setelah kerbau tersebut selesai dipeusijuk kemudian disembelih.
Daging kerbau yang telah selesai disembelih kemudian dimasak. Semua masakan baik daging kerbau maupun makanan lainnya tidak dibenarkan dimakan sebelum ada perintah dari panglima laot dan panitia. Setelah daging dan nasi dimasak sebagian langsung dipisahkan, untuk dinaikkan ke perahu bersama-sama dengan orang-orang yang membaca doa. Sisa dari kerbau yang tidak dimasak seperti isi perut dimasukkan kembali dalam kulit kerbau dan dijahit seperti semula.
Perahu yang membawa rombongan berangkat menuju ke tengah laut dengan membawa sesaji berupa kepala kerbau dan isi perut serta tulang untuk dibuang ke tengah laut. Dalam perjalanannya ke tengah laut tersebut dikumandangkan pula azan.
Setelah kira-kira sampai ditengah laut kemudian kapal yang membawa sesaji tersebut berhenti dan menurunkan sesaji yang dibawa tersebut dan dilanjutkan dengan membaca doa dari ayat-ayat Al-Quran seperti surat Yasin, Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas, serta doa-doa selamat dan doa syukur.
Sejak hari pelaksanaan khenduri sampai hari ketiga para nelayan dilarang untuk pergi ke laut (pantangan kelaut selama 3 hari).
Namun saat ini tradisi khenduri laot tidak dilakukan seperti zaman dulu, seiring perkembangan zaman. Hanya prosesi berdoa, zikir dan Kenduri masak daging kerbau untuk makan bersama dengan warga Gampong dan anak yatim serta fakir miskin saja.***