Meugang; Tradisi Unik Menjelang Puasa dan Hari Raya

Bagikan

Meugang; Tradisi Unik Menjelang Puasa dan Hari Raya

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Satu atau dua hari menjelang masuknya bulan Ramadhan, masyarakat Aceh mawariskan sebuah tradisi yakni meugang  atau makmeugang. Meugang adalah tradisi makan daging. Saat meugang, orang Aceh berbondong-bondong menuju pasar untuk membeli daging lembu atau kerbau.

Makmeugang terdiri atas dua suku kata yakni “makmu” diartikan sejahtera atau ramai, dan “gang” berati pasar. Jadi, makmeugang memiliki makna yaitu ramai sekali pasar (pada hari itu).

Kebiasaan di hari-hari tertentu, kita hanya akan melihat beberapa lapak saja yang menjual daging lembu atau kerbau di pasar. Beda ketika meugang, di Aceh akan dijumpai pasar dadakan penjual daging. Di pasar dadakan ini akan ada puluhan bahkan ratusan penjual nantinya.

Karena kebiasaan orang Aceh yang mayoritas Islam memeriahkan hari-hari besar agamanya, lambat-laun tradisi meugang juga dirayakan di akhir bulan Ramadhan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Tradisi meugang di Aceh dimulai sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam dibawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ketika itu sehari sebelum Ramadhan, Kerajaan Aceh Darussalam melakukan penyembelihan sapi dalam jumlah yang banyak. Lantas pada perayaan meugang itu, Sultan Iskandar Muda memerintahkan imam baitul mal untuk menyalurkan daging, beras, dan pakaian kepada fakir miskin, janda, dan orang lumpuh. Prosesi meugang tersebut diatur dalam Qanun Meukuta Alam Al-Asyi atau Undang-undang Kesultanan Aceh.

Kemeriahan tradisi meugang di Aceh juga digambarkan oleh Denys Lombard dalam bukunya berjudul “Kerajaan Aceh”. Lombard menulis, meugang pada hari sebelum puasa dinamakan dengan “majelis tabal atau upaya tabuh”. Pada hari itu, Syahbandar Sri Rama Setia memberikan persembahan upeti kepada Sultan dan menebarkan kembang di makam raja-raja terdahulu.

Setelah Kerajaan Aceh direbut Belanda, tradisi meugang tidak lagi dilaksanakan oleh raja. Tapi tradisi meugang tetap dilaksanakan oleh orang Aceh, karena tradisi meugang sudah mendarah daging sebagai bentuk memuliakan datangnya perayaan hari-hari besar Islam.

Masa pendudukan Belanda di Aceh, pada hari meugang ada kebijakan dari Belanda meliburkan kerja. Mereka mencoba menghargai adat istiadat yang ada di Aceh saat itu.

Snouck Hurgronje dalam buku The Achehnese dan salah satu manuskrip India Officer Labrary tentang adat Aceh menuliskan, meugang ini sudah menjadi perayaan utama di Aceh pada abad ke-17 selain Idul Fitri, Idul Adha, dan malam Lailatul Qadar. Saat itu tiba, masyarakat akan membeli daging dan memasaknya sedemikian rupa.

Tradisi yang sudah diwariskan secara turun menurun ini juga akan membuat sebagian orang Aceh yang merantau memilih menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya untuk merayakan meugang bersama.

Tidak sembarang lembu atau kerbau yang disembelih di perayaan meugang. Semua lembu atau kerbau akan diperiksa, dan yang memiliki kualitas terbaiklah yang akan disembelih. Setelah itu, daging dimasak kuah mirah, kuah puteh, dan sie reuboh (daging rebus) dimasak dengan mengunakan rempah-rempah Aceh dan campuran cuka yang bisa bertahan berbulan-bulan.

Di Banda Aceh, festival meugang yang digelar di Peunayong dimeriahkan dengan lomba plah ulee leumo (membelah kepala lembu). Dalam lomba plah ulee leumo ini yang dinilai adalah kecepatan peserta dalam menguliti kulit, membelah kepala lembu, memisahkan dagingnya dari tulang, serta kebersihan daging yang dihasilkan juga menjadi penilaian dari dewan juri.

Untuk melestarikan tradisi meugang di Aceh, pemerintah Indonesia menetapkan tradisi ini sebagai salah satu warisan budaya tak benda nasional pada tahun 2016 silam.

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Bagikan