MASYARAKAT Aceh Barat Daya (Abdya) memiliki tradisi unik yang menjadi bagian dari prosesi pernikahan, yaitu tradisi manoe pucok. Lewat tradisi yang telah diwariskan turun temurun ini, calon pengantin akan mendapatkan beragam nasihat-nasihat.
Tradisi ini melibatkan seluruh keluarga yang berkumpul, dengan calon pengantin duduk di tempat yang telah disiapkan. Suasana penuh keharuan tercipta ketika sanak famili saling melantunkan salawat.
Calon pengantin pun mendapatkan wejangan dan nasihat yang menyentuh hati, sering kali diiringi tangisan. Acara ini ditutup dengan prosesi memandikan calon pengantin sebelum diangkat ke dalam rumah.
Manoe pucok bukan sekadar ritual, tetapi merupakan momen sakral yang wajib diikuti oleh calon pengantin di Abdya. Secara harfiah, “manoe” berarti mandi, dan “pucok” adalah pucuk daun tertinggi dari pohon.
Namun, dalam tradisi ini, pucok melambangkan tindakan terakhir yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, sebagai simbol pembersihan diri sebelum memasuki babak kehidupan baru.
Upacara ini biasanya melibatkan delapan orang, terdiri dari seorang syahi dan tujuh aneuk syahi. Nasihat yang diberikan pun sarat makna, seperti kisah tentang kesabaran Zainab yang melepas anaknya, Saidina Hasyem, ke medan perang.
Momen paling mengharukan dalam manoe pucok adalah ketika orang tua dari calon pengantin sudah tiada. Dalam situasi ini, wali keluarga akan mengambil peran memberikan nasihat. Kehadiran wali penting untuk memastikan bahwa calon pengantin mendapatkan perhatian dan nasihat sebagai bagian dari keluarga yang utuh.
Selain untuk calon pengantin, tradisi manoe pucok juga dilaksanakan untuk anak yang akan menjalani sunat. Nasihat yang diberikan berbeda, disesuaikan dengan masa transisi anak menuju kedewasaan dan pubertas.
Usmadi, Tokoh Abdya, berharap tradisi ini dapat diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), mengingat pentingnya pelestarian budaya tersebut. Kajian mendalam telah dilakukan, dan tradisi ini memiliki maestro yang memahami sepenuhnya upacara tersebut.
Tradisi manoe pucok yang telah mendarah daging di Abdya ini diharapkan dapat terus dilestarikan sebagai bagian penting dari kekayaan budaya Indonesia. (ASG)