Lonceng Cakra Donya, Kisah Persahabatan Cheng Ho dengan Kerajaan Aceh

Bagikan

Lonceng Cakra Donya, Kisah Persahabatan Cheng Ho dengan Kerajaan Aceh

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Aceh tak hanya terkenal dengan keindahan pantai dan alamnya, tapi juga kaya dengan situs-situs sejarah yang memberikan gambaran tentang kemegahan Aceh masa lampo. Salah satu tempat yang menyimpan kisah-kisah Aceh yang megah adalah Museum Negeri Aceh, yang terletak di Jalan Alauddin Mahmud Syah, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh.

Di museum itu menyimpan berbagai macam peninggalan sejarah Aceh, diantara yang paling terkenal adalah Lonceng Cakra Donya.

Lonceng itu dibuat pada tahun 1409 Masehi, dengan bahan besi berbentuk stupa. Tingginya mencapai 125 centimeter, serta memiliki lebar 75 centimeter. Di bagian lonceng tersebut ada goresan tulisan Hanzi (aksara Tiongkok) dan Arab.

Goresan tulisan Arab sudah tak berbentuk sempurna lagi. Sementara  goresan aksara hanzi tertulis: Sing Fang Niat Tong Juut Kat Yat Tjo, yang berarti Sultan Sing Fa yang telah dituang dalam bulan 12 dari tahun ke 5.

Berdasarkan catatan sejarah, lonceng tersebut merupakan hadiah persahabatan dari Kaisar Yonglee yang berkuasa di daratan Tiongkok kepada Kerajaan Samudra Pasai. Sekitar tahun 1414 M, Kaisar Yonglee mengutus Laksamana Cheng Ho melawat ke Aceh untuk menjalin kerjasama dalam bidang keamanan dan perdagangan.

Kong Yuanzhi dalam buku“Muslim Tingkok, Cheng Ho”(2000), menyebutkan beberapa waktu setelah kerajaan Samudra Pasai menerima hadiah lonceng Cakra Donya, Kemudian Raja Zainul Abidin mengirim adiknya sebagai utusan kerajaan berkunjung ke Tiongkok.

Kerajaan Samudra Pasai juga merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Pasai ketika itu dikenal sebagai kota pelabuhan yang maju dan padat lalu lalang kapal-kapal. Kerajaan Samudra Pasai juga mengekspor rempah-rempah hasil buminya ke berbagai Negara, termasuk ke Tiongkok.

Ketika kerajaan Pasai ditaklukkan oleh Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayatsyah pada tahun 1542 Masehi , lonceng itu disita dan diboyong ke Koetaradja atau Banda Aceh. Di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada abad ke 17, lonceng itu ditaruk di bagian buritan depan kapal induk armada laut Kerajaan Aceh yang bernama Cakra Donya.

Lonceng itu digunakan sebagai pemberi aba-aba dalam setiap penyerbuan di laut. Armada laut Portugis menyebut Kapal Cakra Donya sebagai Espanto de Mundo, yang berarti teror dunia.

Di Kapal Cakra Donya ada tiga lonceng di pasang, yaitu lonceng di depan kapal diberi nama Akidato Umoe (berita kejadian), di bagian tengah kapal ada lonceng Khasiru Khairan (berita balik), dan di ekor kapal dipasang lonceng Tulak Mara (penolak bencana).

Ketika kapal induk Cakra Donya berhasil dirampas Portugis, keberadaan  lonceng tersebut pun sempat berpindah tangan. Namun, setelah itu lonceng dikembalikan ke kerajaan Aceh, dan lonceng ditempatkan di Kompleks Istana Darud Dunia di sudut kanan Mesjid Raya Baiturrahman.

Fungsi lonceng pun berubah dari semula pemberi aba-aba jika ada musuh di laut, kemudian menjadi alat untuk memanggil orang salat, dan pemberi tanda waktu berbuka puasa di bulan Ramadhan. Pada tahun 1915 Masehi lonceng Cakra Danyo dipindahkan ke Museum Negeri Aceh.

Akhir tahun 2015 silam, dalam acara Puncak Hari Nusantara 2015 yang diadakan di pelabuhan perikanan Lampulo, Menteri Pariwisata, Arief Yahya meluncurkan jalur Samudera Cheng Ho sebagai upaya mengingatkan kembali romantisme sejarah Aceh dan Tiongkok yang pernah gemilang.

Di Banda Aceh yang dikenal sebagai Kota Madani juga terdapat perkampungan China, yang berada di Peunayong. Dan memiliki empat Wihara yaitu Vihara Dharma Bakti, Vihara Dwi Samudera, Vihara Sakyamuni, dan Vihara Maitiri.

 

Foto: http://benaziraadita.blogspot.com – Detik.com

Bagikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Telegram

Bagikan